BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Petani
di Indonesia mayoritas merupakan petani kecil dengan penguasaan dan pengusahaan
lahan yang relatif sempit (< 0,25 ha). Keterbatasan tersebut pada dasarnya
bercirikan antara lain: (1) sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya;
(2) sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani; (3) tingkat pendidikan yang relatif rendah;
dan (4) secara ekonomi, mereka tergolong miskin (Singh, 2002). Sebagai
masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan masyarakat yang
tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan
jalan antara suku-bangsa primitif (tribe) dan masyarakat industri. Mereka
terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa
dihapus begitu saja. Dari perjalanan sejarah, kaum petani pedesaan (peasantry)
memiliki arti penting karena di atas puing-puing merekalah masyarakat industri
dibangun. Mereka mendiami bagian “yang terbelakang” (di masa kini) dari bumi
ini. Oleh sejumlah penulis, masyarakat petani di pedesaan dipandang sebagai
fenomena (yang jelek) dan memperlakukannya sebagai agregat-agregat tanpa
bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional, serta mencap mereka sebagai
manusia-manusia yang ‘terikat tradisi’ (kebalikan dari ‘modern’).
Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu
sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah kekuasaannya (fund of
power). Padahal kenyataannya, petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic
agent) dan kepala rumah tangga; dimana tanahnya merupakan ‘satu unit
ekonomi dan rumah tangga’ (Wolf, 1985).
B.
Rumusan
Masalah
·
Jelaskan definisi-definisi Masyarakat
Peasent menurut para ahli !
·
Jelaskan karakteristik Masyarakat
Peasent !
·
Jelaskan kebudayaan Masyarakat Peasent !
C.
Tujuan
Agar dapat memahami definisi-definisi,
karakteristik, dan kebudayaan masyarakat peasent.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Masyarakat Peasent
Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasant Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasant yang mengarah pada sifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah.
·
Sajogyo mengartikan masyarakat petani
sebagai masyarakat tradisional. Konteks ini hendaknya dinilai bukan semata-mata
sebagai ‘sumberdaya peng-usahatani-an’ atau ‘buruh tani’ yang punya ‘nilai
tukar’, penghasil ‘nilai tambah’, tetapi seharusnyalah diakui sebagai manusia,
yang berpeluang untuk mendidik diri (‘rekayasa’ diartikan sebagai upaya membina
hak-hak azasi manusia). Sistem ekonominya disebut ”sistem usahatani keluarga”.
·
Poerwadarminta (1985) mendefinisikan
petani sebagai orang yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam di tanah.
Wolf (1985), mengkaji petani secara antropologis atau historis, dari manusia
primitive hingga menjadi petani modern. Berdasarkan pemikiran dari berbagai
ahli, perbandingan metamorphosis petani dikemukakan pada table 1.1
Tabel 1.
Perbandingan Masyarakat Primitif; Petani, dan Petani Modern
Primitif (Tribe)
|
Petani (Peasant)
|
Petani Modern
(Farmer)
|
· Bertani
berpindah
· Kebutuhan
primer & kerabat
· Ada
ikatan dengan tetangga
· Surplus
diserahkan ke golongan
· Intensitas
hubungan.dengan luar rendah
· Belum
ada spesialisasi
· Belum
ada sewa tanah
|
· Bertani
tetap
· Subsisten
· Ada
ikatan nilai-nilai
· Surplus
diserahkan ke penguasa
· Intensitas
hub.dengan luar tinggi
· Semi
spesialisasi/campuran
· Sudah
ada sewa tanah.
|
· Rumah
kaca
· Keuntungan
maksimum
· Hubungan
longgar dalam simbol
· Surplus
sebagai keuntungan
Mobilitas
tinggi
· Spesialisasi/profesional
· Cenderung
sewa
|
Sumber:
Direduksi dari Sahlins (1960) dan Malinowski (1922).
·
Kroeber (dalam: Marzali, 2003), peysan (peasant)
adalah masyarakat pedesaan, hidup berhubungan dengan kota dekat pasar (seperti
telah dikemukakan sebelumnya). Posisi petani peysan dalam perkembangan
sosio-kulturalnya, adalah:
(1)
berada di antara masyarakat modern dan primitif;
( (2) bersama dengan masyarakat primitif
dan petani farmer; masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan;
(3) dari sudut perkembangan mode of
production, berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani
farmer.
·
Peasant
adalah petani yang setingkat lebih maju dari cultivator. Cara hidup peasant
telah menetap, tidak berpindah-pindah lagi seperti cultivator dan hidup dalam
sebuah desa dengan strukrur sosial yang heterogen. Kegiatan bercocok tanam
telah menggunakan teknik-teknik pengolahan yang tidak lagi bergantung pada
unsur hara tanah, seperti irigasi untuk pengairan atau menggunakan bajak untuk
menggaruk permukaan tanah.
·
Ave
mengemukakan pengertian masyarakat petani dari sisi mata pencaharian (Wolf,
1985). Pada awalnya manusia memulai mata pencaharian dari meramu dan berburu,
yang berubah menjadi peladangan berpindah, kemudian menjadi daerah peladangan
menetap. Daerah ini kemudian berkembang menjadi daerah pertanian dengan
menggunakan peralatan sederhana. Akhirnya, dengan berkembangnya sistem
pengairan (irigasi) dan teknologi di bidang pertanian, berkembang kehidupan
social bermasyarakat dan membentuk suatu lingkungan hidup, meningkatkan
intensitas hidup dan berinteraksi di antara masyarakatnya.
B.
Karakteristik Masyarakat Peasent
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasant, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasant yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasant di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/kolektivitas yang tinggi.
v Menurutnya, sedikitnya empat karakteristik
utama dalam masyarakat petani, yaitu:
·
satuan rumahtangga (keluarga) petani
adalah satuan dasar dalam masyarakat yang berdimensi ganda;
·
petani hidup dari usahatani dengan
mengolah tanah;
·
pola kebudayaan petani berciri
tradisional dan khas; dan
·
petani menduduki posisi rendah dalam
masyarakat sebagai “wong cilik” (orang kecil) terhadap level masyarakat di atas
desa (Scott, 1993).
v Kurtz (2000) menemukan empat
dimensi karakteristik pokok dalam definisi”peasant”, yaitu:
(1)
Petani sebagai rural cultivators (”pengolah tanah di pedesaan”). Menurut
Popkin, ”pilihan rasional” berlaku bagi ”peasant” tanpa membedakannya dari
”petani lain”.
(2)
Dimensi ”komunitas petani”, bercirikan petani yang jelas dan membedakannya dari
pola budaya ”urban”. Cenderung diacu para antropolog (contoh: Redfield).
(3)
Petani yang menghidupi komunitas tersubordinasi kuat oleh sesuatu kekuasaan luar.
Digagas oleh pakar pengembang teori ”ekonomi moral” (contoh: Scott).
(4)
Petani merupakan kombinasi yang berbeda dari ketiga dimensi di atas, yaitu
sebagai ”rural cultivators”, komunitas tersubordinasi, dan penguasaan/pemilikan. (contoh: Wolf, salah
seorang pengikut teori Marx).
(5)
Mengacu pada empat dimensi arti ”peasant” sekaligus, yang mengikuti teladan Weber
(contoh: Moore), namun sangat jarang diacu oleh pakar antropologi.
Sistem Ekonomi Pertanian Mayarakat Desa Berbicara ekonomi masyarakat desa berarti berbicara tentang bagaimana masyarakat desa memenuhi kebutuhan jasmaniah. Sistem ekonomi masyarakat desa terkait erat dengan sistem pertaniannya. Akan tetapi sistem pertanian masyarakat desa tidak hanya mencerminkan sistem ekonominya melainkan juga mencerminkan sistem nilai, normanorma sosial atau tradisi, adat istiadat serta aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa masyarakat desa menyikapi sistem pertaniannya sebagai way of life. Sistem pertanian yang ada di Indonesia berdasarkan pembagian dari D. Whitlesey meliputi tipe bercocok tanam di ladang, bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap, bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok padi, dan pertanian buah-buahan. Sedangkan berdasarkan pembagian dari Frithjof di Indonesia terdapat dua tipe sistem pertanian yaitu perladangan berpindah, pertanian keluarga, dan pertanian kapitalistik. Sedangkan Dr. Murbyarto membedakan dua sistem pertanian yaitu pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Sehubungan dengan sistem ekonomi maka sistem pertanian meliputi tiga era, yaitu era bercocok tanam yang bersahaja, era pertanian prakapitalistik, dan era pertanian kapitalistik. Pada awal ditemukannya cocok tanam, kegiatan pertanian nenek moyang kita hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum melembaga sebagai pertukaran. Sedangkan pada era pra-kapitalistik, bercocok tanam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan melainkan juga mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan. Pada era inilah sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Pada era kapitalistik, sistem pertanian tidak hanya dikelola untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga melainkan dengan sengaja dan sadar diarahkan untuk meraih keuntungan (profit oriented).
Keterkaitan sistem ekonomi dengan sistem sosial berhubungan dengan tingkat penggunaan teknologinya. Pada masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern dan belum komersial, maka hubungan-hubungan sosial yang ada menunjukkan keakraban, serba informal, serta permisif. Di lain pihak pertanian yang dikelola dengan menggunakan teknologi modern, hubungan sosialnya cenderung tidak lagi akrab, informal dan permisif. Ilmu ekonomi tergolong yang paling “minimalis” karena terpaku pada pengamatan bahwa “peasant” itu berusaha dalam pembudidayaan tanaman dan hewan di pedesaan. Antropologi menambahkan aspek kedua, yaitu mengenali masyarakat “peasant” itu dari sejumlah ciri-ciri pola budaya masyarakat. Ilmuwan politik sosial beraliran “ekonomi moral”(Scott) masih menambahkan ciri yang ketiga: masyarakat “peasant” itu dicirikan oleh tingkat sub-ordinasi yang tinggi, terkait pengaruh “patron” yang lebih kuasa.Dibanding dengan itu, Weber menjelaskan ke-kompleks-an “masyarakat peasant”.
Peasant telah mengenal sistem jual beli, sehingga orientasi produksinya adalah untuk diperjualbelikan, lebih dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Untuk dapat memperjualbelikan hasil produksinya, peasant telah memiliki hubungan dengan kehidupan perkotaan sebagai penghasil pangan. Memahami proses dari “peasant” menjadi “farmer” adalah babak pertama dalam proses memahami modernisasi dan pembangunan: dan masih perlu disambungkan ke proses “dari orang desa menjadi orang kota”!
C. Kebudayaan
Masyarakat Peasent
Mencermati
Gambar 1, aliran Marxian melihat akses perekonomian dan pemilikan sumberdaya
petani dengan mengkategorikan atas petani kaya dan petani miskin. Aliran
antropoligis mengkaji masyarakat petani dari sisa-sisa peninggalan dan
keterbelakangan kebudayaannya. Chayanov mengkaji perkembangan masyarakat petani
dengan usahatani keluarga, subyektifitas garapan terhadap keseimbangan
perekonomian petani, dan jangkauan petani yang makin terbuka terhadap berbagai
akses pembangunan.
Sementara
itu, Van Vollenhoven (Gambar 2) menggambarkan masyarakat petani sebagai masyarakat
desa yang dilatarbelakangi kesatuan agroekosistem (alam/geografi) dan
kebudayaan. Kesatuan lingkungan geografisnya terutama terkait dengan penguasaan
dan pengusahaan sumberdaya lahan. Sedangkan kesatuan kebudayaan (kultural)
meliputi berbagai aturan-aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat petani
tersebut. Berbagai aturan tersebut antara lain meliputi aturan adat, penduduk
asli, tanah, lahan garapan, hubungan kekeluargaan, dan kehidupan ekonomi
masyarakat (rakyat) desanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
definisi-definisi Masyarakat Peasent di atas saya dapat menyimpulkan bahwa :
“Masyarakat Peasant adalah petani
yang setingkat lebih maju dari cultivator. Cara hidup peasant telah menetap,
tidak berpindah-pindah lagi seperti cultivator dan hidup dalam sebuah desa
dengan strukrur sosial yang heterogen. Kegiatan bercocok tanam telah
menggunakan teknik-teknik pengolahan yang tidak lagi bergantung pada unsur hara
tanah, seperti irigasi untuk pengairan atau menggunakan bajak untuk menggaruk
permukaan tanah.”
B.
Saran
Perlu
adanya perhatian pemerintah dalam hal mengatasi masalah keterbatasan petani
yang menjadi penyebab kemiskinan lebih merupakan kondisi struktural sehingga
dapat membantu kondisi ekonomi dari masyarakat peasent tersebut.
terima kasih,,,,udah menyiapkan materi yang luar biasa......tugas jdi selesai,,,,,
BalasHapus