Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 November 2011

Aktifitas dan kekerabatan masyarakat pesisir di Maluku


BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Maluku merupakan salah satu provinsi bahari di indonesia karena sembilan puluh persen dari luas daerahnya merupakan lautan. Sebagian besar masyarakat Maluku hidup sebagai nelayan. Daerah Maluku juga terkenal dengan kebudayaan diantaranya pela-gandong yaitu merupakan hubungan kekerabatan yang sangat erat pada orang Maluku. Dan ada juga beberapa contoh nilai-nilai kebudayaan Maluku dalam hal memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki dengan berbagai aturan-aturan yang melekat seperti sasi, yang merupakan upaya pelestarian alam dan lingkungan. Masohi adalah kerjasama kemanusian yang menguntungkan.

  1. RUMUSAN MASALAH
    • Jelaskan aktifitas-aktifitas masyarakat pesisir















BAB II
PEMBAHASAN

AKTIFITAS MASYARAKAT PESISIR DALAM PENGOLAHAN SUMBERDAYA ALAM DAN KEKERABATAN YANG TERJADI PADA MASYARAKAT TERSEBUT.

A.    KEKERABATAN YANG TERJADI DI MASYARAKAT PESISIR MALUKU

·         PELA GANDONG
Menurut kisah para tetua adat, budaya Pela adalah pernyataan kekerabatan mutlak yang memiliki kekuatan pengikat di antara mereka yang ber-Pela. Dengan sanksi apabila larangan yang ditabukan dilanggar, akan berakibat fatal bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu para memperlakukannya sebagai mitos dan betul-betul menjaga diri untuk tidak melanggarnya. Tetapi generasi muda yang hidup di alam modern ini banyak yang tidak lagi yakin akan sejumlah pantangan itu, dan ternyata mereka pun biasa-biasa saja, tidak terkena tulah atau mendapat gangguan apa pun. Budaya Pela memang baru mengatur hubungan antar negeri, dan kurang memiliki daya kohesivitas dalam membuat jaring yang rapat untuk bisa berperan sebagai perekat antar golongan. Mengantisipasi hal itu, atas kesepakatan semua pihak budaya Pela dipadukan dengan Gandong. Maka jadilah Pela-Gandong, yaitu suatu penegasan bahwa antara pemeluk agama Islam dan Kristen adalah saudara sekandung.

·         TRADISI MINTA API
Tradisi Minta Api adalah tradisi unik dari kehidupan sosial masyarakat Maluku secara umum, dan tradisi ini hampir punah di berbagai negeri-negeri di Maluku (desa-desa). Meskipun demikian sampai sekarang, tradisi ini teramati masih berlangsung di negeri-negeri di pulau Saparua.
Dengan perkembangan zaman modern atas kelengkapan alat memasak yang lebih modern. Banyak orang telah memakai konvor dengan bahan bakar minyak, atau gas, namun untuk sebagian masyarakat di negeri-negeri Saparua, masih memakai “Tungku” (tempat perapian sederhana untuk tempat memasak keluarga dengan memakai 3 buah batu yang di tempatkan dalam bentuk segitiga sama sisi, atau buah besi beton/sejenisnya, dalam ukuran tertentu panjangnya, yang terbentang diatas 2 buah batu sebelah kiri dan kanan masing-masing secara sejajar, dan disesuaikan dengan ukuran alat-alat masak seperti “Pancis (Panci)” atau “Tacu (Wajan)” agar bisa ditempatkan diatas tungku tersebut) atau “Anglo” (tempat perapian yang terbuat dari tanah liat, dalam bentuk lingkaran yang kecil atau besar dengan lubang udara kecil-kecil di dindingnya) sebagai tempat perapian sekunder untuk memasak makanan, dengan bahan bakar kayu. Sering berlangsung di pagi hari atau di sore hari ketika keluarga-keluarga mulai memasak kebutuhan makan keluarga, seperti masak makanan dan masak air. Biasanya ketika tidak ada alat pencetus api seperti korek api kayu atau gas, atau malas untuk membuat perapian dari awal di atas tungku mereka, para ibu cenderung menyuruh anak mereka, atau mereka sendiri pergi mengambil atau meminta pontong atau puntung api di tetangganya dengan memakai tempurung kelapa atau serabut kelapa sebagai wadah menempatkan pontong api tersebut. Demikianlah gambaran singkat dari salah satu tradisi yang pernah dan sampai sekarang masih berlangsung di beberapa negeri-negeri di Maluku.
Perlu dipertegaskan, mulai dari nilai luhur budaya tradisional inilah, kemudian menjadikan tradisi minta puntung api dapat bertahan diatas nilai-nilai tersebut hingga kini. Yaitu yang pertama, berdasar pada nilai solidaritas dan kekeluargaan yang kuat; kedua, menghargai nilai dari “api” yang dihasilkan adalah suatu proses memperjuangan untuk menciptakan sesuatu dalam mempertahankan hidup bersama, dan berlangsung dalam suatu kerelahan antar ”orang basudara untuk saling melengkapi”. Disamping itu kualitas dari ‘api’ adalah sesuatu yang begitu urgen bagi kehidupan di zaman tradisional.
Dengan begitu,.

·         TRADISI BADENDANG
 Tradisi badendang biasanya terlihat pada hari-hari raya keagamaan, baik di negeri Salam (Islam) maupun negeri Sarane (Kristen). Meskipun demikian tradisi Badendang tidak identik dengan tradisi ritual keagamaan, namun tradisi ini biasanya di adakan oleh kaum pemuda negeri untuk menciptakan nuansa kekeluargaan pada momen-momen tertentu. Seperti Natal, Idulfitri, Hari raya kurban, Perayaan tahun baru, dll. Tentunya pada momen hari raya keagamaan atau momen perayaan hajatan negeri (seperti acara adat Lantik Raja, Tutup Baeleo, Panas Pela, Panas Gandong, dll) banyak anak cucu yang merantau melakukan mudik ke kampung halaman. Tradisi Badendang biasanya terjadi secara spontan, atas prakarsa satu kelompok yang mulai bernyanyi sambil berjalan menuju jalan-jalan utama negeri bahkan mereka melakukan tarian-tarian (berdendang) tertentu untuk menarik perhatian kelompok pemuda-pemudi yang lain.
Tradisi badendang ini dibeberapa negeri di Lesae pada klimaks kegembiraan mereka diikuti dengan beberapa tradisi yang lain pula. Diantaranya adalah tradisi “tarik rotang” (olahraga tarik tambang), atau melakukan pesta dansa, dan lain sebagainya. Bahkan beragam pula tradisi badendang ini kemudian dimaknai pada konteks negeri-negeri tertentu. Diantaranya, sebagai suatu momen perpisahan, sehingga luapan sukacita bersama yang terwujud ketika tradisi Badendang dilakukan, yaitu ada keluarga (yang pulang melakukan mudik) tertentu yang memberikan uang dalam amplop, atau di bungkus dengan sapu tangan dan memberikannya pada ketua pemuda atau koordinator pemuda (sebagai penangung jawab). Dan uang pemberian itu dipakai untuk melakukan acara-acara kepemudaan di dalam negeri. 

·         TRADISI AKAL-AKAL
"Akal-Akal" adalah sebutan terhadap beragam bentuk objektivasi dari hasil kekuatan cara berpikir manusia; yang terakomodir didalamnya kekuatan-kekuatan kosmologi dari orang-orang Maluku tradisional, dan pada umumnya di masyarakat Maluku Tengah, Pulau Ambon, dan Lease. Yang kemudian "akal-akal" di pakai sebagai suatu bentuk tindakan jaga diri terhadap berbagai ancaman luar atau ancaman yang datang dari dalam diri seseorang berupa penyakit. Sementara ancaman yang datang dari luar, misalnya : "Akal-akal" dapat menangkal ancaman ilmu hitam (segala bentuk dan jenisnya), "Akal-akal" juga dapat membantu terselesaikan suatu masalah  seseorang. "Akal-akal" juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang memakai dengan tepat "akal-akal" tersebut. Hal ini memang terdengar konyol, namun pengalaman yang membuktikan bahwa banyak praktek "akal-akal"telah memunculkan khasiatnya, hasilnya, atau kualitasnya dari setiap orang yang memakai "akal-akal" tersebut. 
Akal-akal; Topo bantal kapala par kase bangong tempo (tepuk bantal kepala, untuk membantu kita agar bangun tidur tepat waktu). Saya pernah diajarkan oleh Opa saya untuk menepuk bantal kepala, sebelum tidur, dan berkata-kata seolah-olah saya sedang berbicara dengan bantal itu; kalau saya ingin bantal membangunkan saya tepat jam 07.00. WIT (Pagi). Dan setelah berbicara dengan bantal, langsung menepuk bantal itu sebanyak tiga kali sebelum tidur. Dan betapa herannya, besok pagi saya dibangunkan jam 6.40 WIT. Dari hasil yang ada kemudian membuat saya yakin akan hal itu, dan fakta ini saya dahulu telah melakukannya berulang-ulang kali dan hasilnya sesuai dengan harapan.

·         TRADISI BARANTANG
Barantang adalah kesepakatan antara 2 belah pihak (atau lebih) untuk saling membantu dalam kepentingan mendapatkan suatu hasil dan kemudian di bagi secara merata oleh kedua belah pihak. Hal ini sering dilakukan oleh kaum hawa ketika dalam bersamaan waktu misalkan, menuju ke pasar; dan biasanya untuk menghemat kebutuhan belanja, sering “baku akort” (melakukan kesepakatan) untuk barantang salah satu atau dua jenis barang belanjaan. Jadi kegiatan barantang sangat membantu kebutuhan mama Yoke dan mama Mia misalkan, dimana mereka mendapatkan satu tumang sagu mentah dengan bayaran 50% - 50%.

Barantang sama dengan Maano atau ma’anu dalam kultur budaya orang Maluku Tengah, adalah sama-sama mengarah pada kerja sama yang bersifat ekonomis dalam kepentingan akhir, ketika dua atau tiga orang bersepakat melakukan barantang. Tetapi Maano dipahami lebih cenderung terhadap bekerja sama membuat kebun, membeli dusun cengkih, dll, yang bersifat besar. Sementara barantang adalah bentuk kerja sama dalam membagi hasil dalam skala yang kecil, seperti pada umumnya barantang kebutuhan-kebutuhan makan minum. Dengan begitu pengunaan tradisi barantang lebih familiar dikalangan ibu-ibu ketimbang bapak-bapak (yang lebih mengenal ma’anu/maano).

·         MAKAN PATITA
Makan  patita adalah jamuan makan  bersama dan bersifat massal. Artinya semua peserta upacara panas pela turut mengambil bagian termasuk warga desa yang tidak turut pada upacara. Makan patita digelar di atas jalan raya dalam  negeri  yang sebelumnya  dibangun    sebuah tenda panjang yang disebut  sabuah.  Semua jenis makanan tradisional yang diatur dan ditata rapi ini ditampilkan seperti,  kasbi (ketela pohon), keladi (talas),  patatas (ketela rambat), pisang, dan umbi-umbian lainnya. Selain itu sagu, yang diolah menjadi “papeda” dan sagu lempeng, tidak ketinggalan. Ketupat dan nasi kuning serta sayur acar merupakan hidangan penting yang harus ada. Masakan ikan melengkapinya, seperti  kokohu (ikan mentah atau ikan asar yang dicampur dengan kacang-kacangan dan diberi kelapa parut); colo-colo (ikan asar yang dicelup dengan air jeruk atau asam cuka dan diberi kecap, irisan bawang merah, tomat serta daun kemangi). Kemudian  sayuran, seperti tumis bunga pepaya, urap daun singkong. Tak ketinggalan  sopi,  minuman khusus yang melengkapi hidangan sejenis minuman keras yang disuling dari buah enau atau jantung mayang (pohon enau).

B.     AKTIFITAS-AKTIFITAS MASYARAKAT PESISIR DALAM PENGAMBILAN HASIL ALAM
·         SASI
Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak jaman nenek moyang mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk menunjang kehidupan mereka. Sebelum era dunia modern pengelolaan sumberdaya alam masih bersifat lokal, dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana.
Aturan-aturan yang digunakan umumnya timbul dan berakar dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian ditetapkan, dikukuhkan dan disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu undang-undang atau hukum yang lebih dikenal sebagai hukum adat.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, masyarakat setempat memiliki kearifan local yang dikenal sebagai tradisi “sasi”. Sasi laut pada dasarnya merupakan kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan berikut sanksi pelanggarannya, disusun oleh masyarakat dan disahkan melalui mekanisme structural adat disuatu desa laut antara lain mengatur pemanenan komoditas perikanan seperti lola, batu laga, dan teripang beserta pemeliharaan ekosistemnya agar tetap lestari.

ü  Sasi di Desa Nolloth, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah
Sasi adalah suatu kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang disusun oleh masyarakat dan disahkan melalui mekanisme struktural adat di suatu desa. Pelaksanaan Sasi di Desa Nolloth pada saat ini berdasarkan atas Keputusan Desa tentang Peraturan Sasi Desa Nolloth yang dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 1994 dan disahkan oleh kepala desa dan kewang. Bersamaan dengan keputusan tersebut, juga dikeluarkan aturan tentang sanksi terhadap pelanggaran Sasi. Zona Sasi meliputi seluas 125.000 m2 pada pesisir pantai sepanjang 2,5 km, mulai dari pantai Umisin (batu berlubang) sampai dengan pantai Waillessy (batas dengan Desa Ihamahu). Sedangkan ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 m. Dengan demikian sebuah zona sasi merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan sumberdaya alam laut yang sepenuhnya diatur melalui peraturan Sasi
Landasan
Desa
Nolloth
Paperu
Siri Sori
Tujuan
·         Melindungi tradisi
·         Meningkatkan pendapatan desa
·         Melindungi tradisi
·         Meningkatkan pendapatan desa
·         Melindungi lingkungan
·         Meningkatkan pendapatan desa
·         Melindungi sumberdaya dari eksploitasi oleh orang lain
Noma (Kaidah)
·         Dilarang mengambil : ola, batulaga, tiram, teripang, akar bahar ikan
·         Pengambilan dapat dilaksanakan bila Sasi dibuka
·         Daerah yang dilarang, yaitu pantai di depan desa (panjang 2,5 km, kedalaman air hingga 25 m)
·         Dilarang menangkap ikan (semua jenis ikan)
·         Alat yang hanya diijinkan adalah jala, bagan tancap dan pancing tangan
·         Penangkapan ikan dilakukan bila Sasi dibuka
·         Daerah yang dilarang adalah sekitar tanjung Paperu (untuk Sasi khusus) dan di sepanjang pantai desa (untuk Sasi umum)
·         Dilarang mengambil teripang, lola dan caping-caping
·         Penangkapan diijinkan bila Sasi dibuka
·         Daerah yang dilarang adalah perairan pesisir sepanjang desa
Tingkah Laku
·         Buka Sasi dikoordinir oleh desa
·         Buka Sasi dengan cara lelang
·         Buka Sasi dengan cara lelang
Struktur Organisasi
·         Diatur secara tertulis dengan keputusan desa
·         Dilaksanakan oleh pemerintah desa
·         Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)
·         Diatur secara tertulis dengan keputusan desa
·         Dilaksanakan oleh pemerintah desa
·         Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)
·         Diatur secara lisan dengan keputusan desa
·         Dilaksanakan oleh pemerintah desa
·         Pelaksanaan dan pengawasan oleh kewang (polisi desa)
Sumber : Nikijuluw (1994).Di Kawasan Desa Nolloth, Kecamatan Saparua, dikenal ada 2 sistem penyelenggaraan Sasi yaitu (1) nbsp; Sasi Negeri (Sasi adat) dan (2) Sasi Gereja. Seperti yang telah tersirat pada namanya, perbedaan pokok antara 2 sistem Sasi tersebut terletak pada penyelenggara kesepakatan tradisional tersebut. Pada sistem Sasi Negeri, penyelenggara utamanya adalah Kewang dengan Kepala Desa, sedangkan pada Sasi Gereja pelaksanaan Sasi diorganisir oleh pendeta dan gereja.
·         TRADISI SEKE
Seke merupakan salah satu contoh pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan, dalam hal ini adalah sumberdaya perikanan, yang muncul dan dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Dalam kasus Seke ini, paling tidak ada dua pelajaran yang dapat dipetik dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam.
Pertama, Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan perhatian kepada distribusi pemanfaatan sumberdaya alam kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin dari adanya pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam satu periode waktu (misalnya 1 minggu). Dengan distribusi yang adil seperti ini maka konflik pemanfaatan akan semakin kecil potensinya.
Kedua, selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke juga mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari sistem bagi hasil yang diterapkan di mana seluruh komponen masyarakat mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah kelompok Seke tertentu. Dalam konteks moderen, sistem distribusi pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemerataan yang kuat di kalangan masyarakat Desa Para.
Secara umum semangat pengelolaan sumberdaya perikanan yang murni oleh masyarakat seperti kelompok Seke ini perlu diadopsi dalam bentuk baru pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di Indonesia, sehingga kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan masyarakat lokal tetap menjadi perhatian utama dibanding kepentingan ekonomi jangka pendek yang menguntungkan salah satu pengguna saja.
·         TRADISI BALOBE
Dasar-dasar alasan dari tradisi balobe, hampir dengan bameti, jadi tradisi balobe adalah kegitan bameti yang dilakukan pada malam hari. Namun yang membedakan balobe dan bameti adalah bameti pada siang hari sedangkan balobe pada malam hari. Juga disisi yang lain, untuk bameti ada beragam jenis kegiatan pencahariannya, sementara orang-orang yang melakukan balebo lebih focus untuk mencari ikan dan gurita. Namun tidak menutup kemungkinan mereka menemukan jenis lain selain ikan dan gurita.

·         TRADISI BAMETI
Tradisi ini dapat dilihat di negeri-negeri pada umumnya di Maluku. Tetapi tidak semua negeri-negeri dapat melakukan tradisi ini, sangat mungkin bagi negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yang luas, ketika air surut dapat mengeringkan sampai ratusan meter mulai dari tepi pantai. Fenomena alam ini Yng kemudian disebutorang-orang Maluku dengan “air meti” (air surut). Sementara air pasang disebut “air pono”.di Pulau Lease banyak negeri-negeri yang sering melakukan tradisi “bameti” ini. Tradisi bameti adalah suatu bentuk pencaharian sampingan ketika kebetulan bahan konsumsi daging ikan mahal di pasar bagi negeri-negeri yang ada dipesisir pantai. Maka alternatifnya banyak orang mulai bameti. Dapat dikatakan kegiatan ini adalah sebuah tradisi turun-temurun, dari generasi terdahuli di Maluku yang benar-benar telah terbiasa memiliki kekayaan laut yang lebih dominan.
Biasanya dalam melakukan tradisi bameti ada beragam bentuk kegiatannya. Antara lain:
1.      Cari bia: adalah kegiatan dari semua orang tanpa memandang kecil-besar, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, yang dengan pengalaman mengamati tertentu, mereka mencari jenis-jenis siput atau keong laut (bia) yanghidup di habitatnya.
2.      Gale teripang: kegiatan menggali jenis teripang tertentu vagi mereka yang sudah berpengalaman mereka tahu betul tempat teripang ini hidup.
3.      Amanisa atau amunisa: sebutan terhadap kegiatan yang dilakukan kaum hawa, dengan memakai alat tangkapan yang teranyam dari bamboo.

·         TRADISI MAKANG KALAPA SISI

Memang making kalapa sisi (“makan kelapa mentah”) yaitu hanya dilepaskan dari tempurungnya tanpa diparut, dan diiris jadi potongan-potongan kecil itulah yang dimaksud dengan kalapa sisi.


Selasa, 22 November 2011

LOPRAN RUGI-LABA


LAPORAN RUGI-LABA UNIT USAHA RUREHE (POLE AND LINE) DI NEGERI LUHU















LAPORAN RUGI-LABA DARI USAHA PERIKANAN TANGKAP (P0LE AND LINE)
(I)
PENERIMAAN (TR)
TAHUN KE 1
1
Produksi (y)
7.500
2
Harga Jual (Py)
6.250

Total Penerimaan
TR = y . Py
46.875.000
(II)
PENGELUARAN (TC)

1
Biaya Variabel (VC)






Pemasaran
7.500.000
BBM
4.350.000
Ransum
2.500.000
Peralatan
1.750.000
Jumlah Biaya Variabel (TVC)
16.100.000
2
Biaya Tetap (FC)






Pemeliharaan Alat
2.650.000
Penyusutan
1.270.000
Retribusi
450.000
Biaya ABK
7.500.000
Jumlah Biaya Tetap (TFC)
11.870.000
Total Pengeluaran
TC = TFC + TVC
27.970.000
(III)
NET REVENUE (Pendapatan Bersih)
p      =  TR – TC atau
              = y . Py – (TFC + TVC)
 18.905.000

PENJELASAN :
Berdasarkan laporan rugi-laba diatas maka total penerimaan dari unit usaha Rurehe (Pole and Line) Di Negeri Luhu sebesar 111.628.956. untuk unit usaha Rurehe kelompok pengusaha menghasilkan (memproduksikan) sebanyak  11.842  kg tahun pertama dengan harga jual sebesar Rp 9.426. Pengeluaran usaha untuk 1 tahun secara umum mencakup Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk melakukan Unit Usaha Rurehe dalam 1 tahun yaitu Biaya BBM sebesar Rp 1.000.000, Biaya konsumsi sebesar Rp 900.000, Biaya umpan sebesar Rp 500.000. Sehingga jumlah dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya variabel yaitu sebesar Rp 2.400.000. Kemudian dari tabel juga menunjukan rata-rata Biaya Tetap yang dikeluarkan dalam tahun pertama. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan unit usaha Rurehe yaitu biaya perawatan sebesar Rp 2.000.000, biaya administrasi sebesar Rp 1.500.000, biaya penyusutan sebesar Rp 1.750.000. Sehingga jumlah dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya tetap adalah sebesar Rp 5.250.000. Dengan Total Pengeluaran yang didapat dari biaya variabel ditambah biaya tetap (TC = TVC + TFC) adalah sebesar Rp 7.650.000. Serta Net Revenue (Pendapatan bersih/Keuntungan) sebesar Rp 103.987.956 yang diperoleh dari total penerimaan (TR) sebesar Rp  111.628.956 dikurangi total pengeluaran (TC) sebesar Rp 7.650.000 dengan rumus (   =  TR – TC ).



PENJELASAN :
Berdasarkan Laporan Rugi-Laba diatas maka total penerimaan dari Unit Usaha Perikanan tangkap  (Pole and Line) sebesar Rp 46.875.000 untuk unit usaha prikanan tangkap kelompok pengusaha menghasilkan (memproduksikan) sebanyak  7.500  kg tahun pertama dengan harga jual sebesar Rp 6.250. Pengeluaran usaha untuk 1 tahun secara umum mencakup Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk melakukan Unit Usaha Perikanan Tangkap dalam 1 tahun yaitu Biaya Pemasaran sebesar Rp 7.500.000, Biaya BBM sebesar Rp 4.350.000, Biaya Ransum sebesar Rp 2.500.000, dan Biaya Peralatan atau perlengkapan sebesar Rp 1.750.000. Sehingga jumlah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya variabel yaitu sebesar Rp 16.100.000. Kemudian dari tabel juga menunjukan rata-rata Biaya Tetap yang dikeluarkan dalam tahun pertama. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan unit usaha Perikanan Tngkap yaitu biaya pemeliharaan alat  sebesar Rp 2.650.000, biaya penyusutan sebesar Rp 1.270.000, biaya retribusi sebesar Rp 450.000, biaya ABK (upah) sebesar Rp 7.500.000. Sehingga jumlah dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya tetap adalah sebesar Rp 11.870.000. Dengan Total Pengeluaran yang didapat dari biaya variabel ditambah biaya tetap (TC = TVC + TFC) adalah sebesar Rp 27.970.000. Serta Net Revenue (Pendapatan bersih/Keuntungan) sebesar Rp 18.905.000 yang diperoleh dari total penerimaan (TR) sebesar Rp  46.875.000 dikurangi total pengeluaran (TC) sebesar Rp 27.970.000 dengan rumus (   =  TR – TC ).

TABEL LAPORAN RUGI-LABA UNIT USAHA PERIKANANMINI PURSE SEINE DI DESA BATU MERAH
NO  (I)
PENERIMAAN (TR)
TAHUN KE 1
1
Produksi (y)
11.725
2
Harga Jual (Py)
9.333
Total Penerimaan
TR = y . Py
109.429.425
(II)
PENGELUARAN (TC)

1
Biaya Variabel (FC)




BBM ( Minyak Tanah,Oli, dan bensin )
30.855.142,60
Biaya Pemasaran
7.714.285,65
Biaya Natura (Biaya Konsumsi /ransum)
12.857.142,75
Jumlah Biaya Variabel (TFC)
51.428.571
2
Biaya Tetap (VC)





Biaya Pemeliharaan
2.575.857,60
Biaya Penyusutan
1.287.928,80
Biaya Retribusi Desa
429.309,60
Jumlah Biaya Tetap (TVC)
4.293.096
Total Pengeluaran
TC = TFC + TVC
55.721.667
(III)
NET REVENUE (Pendapatan Bersih)
p      =  TR – TC atau
= y . Py – (TFC + TVC)
53.707.758











PENJELASAN :
Berdasarkan Laporan Rugi-Laba diatas maka Total Penerimaan dari Unit Usaha Perikanan Mini Purse Seine di Desa Batu Merah sebesar Rp 109.429.425. untuk unit usaha perikanan mini purse seine di Desa Batu Merah kelompok pengusaha menghasilkan (memproduksikan) sebanyak  11.725  kg tahun pertama dengan harga jual sebesar Rp 9.333. Pengeluaran usaha untuk 1 tahun secara umum mencakup Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk melakukan unit usaha perikanan mini purse seine  dalam 1 tahun yaitu Biaya BBM sebesar Rp 30.855.142,60, Biaya Pemasaran sebesar Rp 7.714.285,65, Biaya Natura (Konsumsi/ransum) sebesar Rp 12.857.142,75. Sehingga jumlah dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya variabel yaitu sebesar Rp 51.428.571. Kemudian dari tabel juga menunjukan rata-rata Biaya Tetap yang dikeluarkan dalam tahun pertama. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan unit usaha perikanan mini purse seine yaitu Biaya Pemeliharaan sebesar Rp 2.575.857,60, Biaya Penyusutan sebesar Rp 1.287.928,80, dan Biaya Retribusi Desa sebesar Rp 429.309,60.  Sehingga jumlah dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dari biaya tetap adalah sebesar Rp 4.283.096. Dengan Total Pengeluaran yang didapat dari Biaya Variabel ditambah Biaya Tetap (TC = TVC + TFC) adalah sebesar Rp 55.721.667. Serta Net Revenue (Pendapatan bersih/Keuntungan) sebesar Rp 53.707.758 yang diperoleh dari Total Penerimaan (TR) sebesar Rp  109.429.425 dikurangi Total Pengeluaran (TC) sebesar Rp 55.721.667 dengan rumus (   =  TR – TC ).
Literatur   : Ringkasan Seminar Hasil oleh Muhammad Rizal Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan
Judul         : Analisis Finansial Usaha Perikanan Mini Purse Seine di Desa Batu Merah